Jumat, 05 Juli 2013

Pantai Ngobaran Gunung Kidul

Terletak sekitar dua kilometer sebelah barat Pantai Ngrenehan ini tidak hanya menyuguhkan panorama alam yang menakjubkan seperti hamparan pasir putih, gulungan ombak, barisan batu karang, rumput laut (alga), dan deretan pohon pandan laut, tetapi juga menyuguhkan pesona budaya yang penuh nuansa mistis.
Pantai Ngobaran dikenal sebagai tempat ritual berbagai penganut agama atau kepercayaan. Di kawasan ini terdapat tempat-tempat peribadatan seperti masjid yang berdiri berdampingan dengan pura menghadap ke arah pantai selatan, serta tempat ibadah berbagai aliran kepercayaan seperti Kejawen dan Kejawan. Selain itu, di kawasan pantai ini juga terdapat beberapa arca dan stupa yang sering dijadikan tempat upacara keagamaan. Di puncak bukit karang yang terletak di sekitar Pantai Ngobaran terdapat sebuah kotak batu yang ditumbuhi tanaman kering. Kotak batu yang berada di depan sebuah rumah Joglo ini dikelilingi oleh pagar kayu berwarna abu-abu. Konon, tepat di mana tanaman kering itu tumbuh merupakan tempat Prabu Brawijaya V membakar diri.


Menurut cerita masyarakat setempat, Prabu Brawijaya V atau biasa dikenal dengan Bhre Kertabhumi yang merupakan keturunan terakhir Kerajaan Majapahit (1464-1478 M) ini melarikan diri dari istana bersama kedua istrinya, Bondang Surati (istri pertama) dan Dewi Lowati (istri kedua), karena enggan diislamkan oleh putranya sendiri yang bernama Raden Fatah Raja I Demak. Mereka berkelana malang-melintang ke daerah-daerah pedalaman dan pesisir. Ketika tiba di pantai yang kini bernama Ngobaran, mereka menemui jalan buntu. Mereka dihadang oleh laut selatan yang sangat ganas ombaknya sehingga tidak tahu harus berlari ke mana lagi. Akhirnya, Brawijaya V memutuskan untuk membakar diri. Sebelum menceburkan diri ke dalam api yang telah disiapkan, ia bertanya kepada kedua istrinya. “Wahai, istriku! Siapa di antara kalian yang paling besar cintanya kepadaku?” Dewi Lowati menjawab, “Cinta saya kepada Tuan sebesar gunung.” Sedangkan Bondang Surati menjawab, “Cinta saya kepada Tuan, sama seperti kuku ireng, setiap selesai dikethok (dipotong) pasti akan tumbuh lagi.” Begitulah cinta Bondang Surati kepada suaminya, jika cinta itu hilang, maka cinta itu akan tumbuh lagi.
Setelah mendengar jawaban dari kedua istrinya, Brawijaya V langsung menarik tangan Dewi Lowati lalu bercebur ke dalam api yang membara. Pada saat itulah, keduanya tewas dan hangus terbakar. Prabu Brawijaya V memilih Dewi Lowati bercebur ke dalam api karena cinta istri keduanya itu lebih kecil dibandingkan dengan istri pertamanya. Dari peristiwa membakar diri inilah kawasan pantai ini diberi nama Ngobaran. Ngobaran berasal dari kata kobong atau kobaran, yang berarti terbakar atau membakar diri.
Kebenaran cerita tentang Prabu Brawijaya V membakar diri ini masih diragukan oleh sebagian pihak. Menurut keterangan dari sebagian masyarakat setempat yang diperoleh dari orang-orang tua mereka, Prabu Brawijaya V sebenarnya tidak meninggal di kawasan Pantai Ngobaran. Pada saat peristiwa tersebut terjadi, ada seorang warga yang menyaksikan bahwa yang bercebur ke dalam api bukan Brawijaya V dan istrinya, tetapi anjing peliharaannya. Pendapat ini dibuktikan dengan ditemukannya petilasan (jejak) berupa tulang-tulang sisa kobaran api yang ternyata bukan tulang manusia, melainkan belang yoyang (tulang-tulang anjing).
Cerita versi lain mengatakan bahwa Brawijaya V melakukan moksa (hilang) di puncak Gunung Lawu. Menurut para sejarawan, versi ini sesuai dengan fakta sejarah. Kenyataan memang menunjukkan bahwa Brawijaya V enggan masuk Islam dan tidak mau berperang melawan putranya sendiri sehingga ia meninggalkan istana menuju Blambangan dan kemudian mengasingkan diri ke puncak Gunung Lawu bersama dua orang abdinya Dipa Manggala dan Wangsa Manggala. Di puncak Gunung Lawu itulah Brawijaya moksa dan musnah bersama kedua abdinya. Dengan musnahnya Brawijaya V, maka sirnalah Kerajaan Majapahit. Runtuhnya Majapahit ini dikenal dengan istilah “candrasangkala” atau Sirna Ilang Kertaning Bumi, yang berarti Sirna = 0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1. Kalimat yang mengandung makna angka (bilangan) ini jika dibaca terbalik menyatakan tahun keruntuhan Kerajaan Majapahit, yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 M.
Terlepas dari perbedaan versi cerita di atas, hingga kini sebagian masyarakat setempat tetap meyakini bahwa Brawijaya V pernah meninggalkan jejak di Pantai Ngobaran sehingga kawasan ini menjadi salah satu obyek wisata petilasan atau wisata pantai ritual yang ada di Gunungkidul. Penganut Kejawan yang merupakan aliran kepercayaan peninggalan Prabu Brawijaya V sering melakukan ritual di kawasan ini. Selain itu, penganut agama Hindu juga sering melakukan upacara Galungan setiap bulan purnama dan Upacara Melastri dalam rangkaian upacara Hari Raya Nyepi. Begitu pula penganut kepercayaan Kejawen, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon mengadakan ritual di kawasan ini.
B. Keistimewaan
Saat memasuki kawasan Pantai Ngobaran, Anda akan disambut oleh suasana mistis yang berpadu dengan suara ombak yang terhempas di tebing-tebing batu karang. Pesona budaya yang pertama kali Anda temui adalah sebuah prasasti yang terletak di antara arca dan stupa. Konon, prasasti itu dibuat oleh masyarakat setempat untuk mengenang peristiwa menghilangnya Prabu Brawijaya V di kawasan itu. Pada prasasti tersebut tertulis sebuah Ikrar Kesatria yang berisi tiga butir, yaitu: AKU BERSUMPAH SETYA DAN PATUH: 1). Menghormati, menjunjung tinggi dan menghormati para leluhur cikal bakal bangsaku sendiri; 2). Menghormati dan menjunjung tinggi ajaran Trimurti ajaran kepercayaan lelulur cikal bakal bangsaku sendiri; 3). Menghormati, menjujung tinggi dan menjaga bumi pertiwi, tanah tumpah darah para leluhur cikal bakal bangsaku sendiri.
Berjalan ke arah selatan prasasti tersebut, Anda akan menemui sebuah bangunan pura yang terletak di ujung bukit batu karang. Di samping pura itu, Anda dapat menyaksikan pemandangan laut lepas yang menakjubkan. Tidak jauh dari pura itu, Anda juga dapat menemui sebuah rumah joglo dan sebuah mushola berukuran kurang lebih 3 x 4 meter yang berlantai pasir. Bangunan mushola ini sangat unik karena arah kiblatnya menghadap ke selatan. Bagi pengunjung yang ingin melaksanakan shalat tidak perlu bingung dengan arah kiblat karena penduduk setempat telah memberi tanda pada dinding mushola tentang arah kiblat yang sebenarnya. Usai melaksanakan shalat, pengunjung pun dapat menyaksikan keindahan Pantai Ngobaran dari tempat imam memimpin shalat karena pada bagian tersebut terbuka lebar.
Setelah puas menikmati suasana mistis, Anda bisa berjalan ke arah barat mengikuti jalan menurun menuju ke pantai. Di sana Anda akan menyaksikan pesona alam Pantai Ngobaran yang dapat membius pandangan Anda. Pantai ini dihiasi oleh hamparan pasir putih dan karang-karang berselimut alga. Jika dilihat secara sekilas, pantai ini bagaikan hamparan permadani hijau. Alga atau dalam bahasa Jawa disebut karangan itu menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat setempat.
Jika berkunjung ke pantai ini pada saat air laut surut, yaitu sekitar pukul 06.00 – 11.00 pagi, Anda akan menjumpai masyarakat pantai tengah mencari karangan untuk dijual kepada tengkulak yang kebanyakan berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Jika ingin membawa pulang rumput laut untuk diolah di rumah, pengunjung dapat memperolehnya dengan harga yang relatif murah. Di kawasan ini tersedia beragam jenis karangan seperti karangan simbar untuk bahan pembuatan kerupuk dengan harga Rp 3000,00-Rp 5.000,00/kg, karangan lumut dengan harga Rp 1.500,00-Rp 2.000,00/kg, dan karangan ager untuk bahan agar-agar dengan harga Rp 1.200,00-Rp 1.500,00/kg.
Jika Anda berkunjung pada sore hari, Anda bisa menyaksikan aktivitas para nelayan di sekitar pantai yang sedang mencari beragam jenis biota laut seperti landak laut, bintang laut, lobster, dan kerang-kerangan. Biota laut tersebut banyak hidup di kolam-kolam mini yang berada di sela-sela batu karang.
Setelah menikmati sejuta pesona budaya dan alam kawasan pantai ini, kunjungan Anda serasa tidak lengkap jika tidak menikmati wisata kulinernya. Salah satu menu khas yang tersedia di warung-warung makan di sepanjang jalan masuk ke kawasan pantai ini adalah Landak Goreng. Menurut penduduk setempat, daging landak cukup kenyal dan rasanya lezat. Cara menyantapnya pun cukup unik, yaitu duri landak laut terlebih dahulu dikepras (dibabat) hingga rata dan kemudian dipecah dengan menggunakan sabit hingga dagingnya terlihat. Setelah itu, daging landak dicongkel. Sajian wisata kuliner khas ini menjadi penutup dari segala sensasi yang ditawarkan oleh Pantai Ngobaran.
C. Lokasi
Pantai Ngobaran berlokasi di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia.
D. Akses
Akses menuju ke pantai ini sama dengan akses menuju ke Pantai Ngrenehan. Pengunjung dapat melewati dua jalur utama yang biasa digunakan oleh penduduk setempat maupun para wisatawan. Jalur pertama adalah Yogyakarta - Lapangan Udara Gading - Pertigaan Gading (ambil arah ke kanan) – Playen – Paliyan – Trowono – Saptosari - Pantai Ngobaran. Jalur kedua adalah Yogyakarta – Kota Wonosari – Paliyan – Trowono – Pantai Ngobaran.
Jika Anda berada di Pantai Parangtritis, maka akan lebih dekat untuk sampai Pantai Ngrobaran. Anda hanya tinggal menaiki jalan menanjak di sisi sebelah timur Pantai Parangtritis menuju ke arah Panggang. Dari Panggang Anda mengambil jalur yang menuju Saptosari dan Pantai Ngobaran.
E. Tiket
Biaya tiket masuk ke kawasan Pantai Ngobaran sebesar Rp 3.000,00. Salah satu keuntungan mengunjungi pantai ini adalah, dengan harga tiket tersebut, pengunjung juga dapat menikmati pesona kawasan Pantai Ngrenehan yang sudah menjadi satu paket dengan Pantai Ngobaran.
F. Akomodasi dan Fasilitas lainnya
Akomodasi dan fasilitas yang ada di Pantai Ngobaran belum begitu lengkap, karena kawasan ini belum terjangkau oleh aliran listrik. Fasilitas seperti losmen dan penginapan belum tersedia sehingga hanya memungkinkan para wisatawan berkunjung ke pantai ini pada siang hari. Namun yang sudah tersedia di antaranya kamar mandi, warung makan, tempat ibadah, dan tempat parkir.

Teks: lara_ati
sumber: Jogjatrip.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar