Terletak sekitar dua
kilometer sebelah barat Pantai Ngrenehan ini tidak hanya menyuguhkan
panorama alam yang menakjubkan seperti hamparan pasir putih, gulungan
ombak, barisan batu karang, rumput laut (alga), dan deretan pohon pandan
laut, tetapi juga menyuguhkan pesona budaya yang penuh nuansa mistis.
Pantai
Ngobaran dikenal sebagai tempat ritual berbagai penganut agama atau
kepercayaan. Di kawasan ini terdapat tempat-tempat peribadatan seperti
masjid yang berdiri berdampingan dengan pura menghadap ke arah pantai
selatan, serta tempat ibadah berbagai aliran kepercayaan seperti Kejawen
dan Kejawan. Selain itu, di kawasan pantai ini juga terdapat beberapa
arca dan stupa yang sering dijadikan tempat upacara keagamaan. Di puncak
bukit karang yang terletak di sekitar Pantai Ngobaran terdapat sebuah
kotak batu yang ditumbuhi tanaman kering. Kotak batu yang berada di
depan sebuah rumah Joglo ini dikelilingi oleh pagar kayu berwarna
abu-abu. Konon, tepat di mana tanaman kering itu tumbuh merupakan tempat
Prabu Brawijaya V membakar diri.
Menurut
cerita masyarakat setempat, Prabu Brawijaya V atau biasa dikenal dengan
Bhre Kertabhumi yang merupakan keturunan terakhir Kerajaan Majapahit
(1464-1478 M) ini melarikan diri dari istana bersama kedua istrinya,
Bondang Surati (istri pertama) dan Dewi Lowati (istri kedua), karena
enggan diislamkan oleh putranya sendiri yang bernama Raden Fatah Raja I
Demak. Mereka berkelana malang-melintang ke daerah-daerah pedalaman dan
pesisir. Ketika tiba di pantai yang kini bernama Ngobaran, mereka
menemui jalan buntu. Mereka dihadang oleh laut selatan yang sangat ganas
ombaknya sehingga tidak tahu harus berlari ke mana lagi. Akhirnya,
Brawijaya V memutuskan untuk membakar diri. Sebelum menceburkan diri ke
dalam api yang telah disiapkan, ia bertanya kepada kedua istrinya.
“Wahai, istriku! Siapa di antara kalian yang paling besar cintanya
kepadaku?” Dewi Lowati menjawab, “Cinta saya kepada Tuan sebesar
gunung.” Sedangkan Bondang Surati menjawab, “Cinta saya kepada Tuan,
sama seperti kuku ireng, setiap selesai dikethok (dipotong) pasti akan
tumbuh lagi.” Begitulah cinta Bondang Surati kepada suaminya, jika cinta
itu hilang, maka cinta itu akan tumbuh lagi.
Setelah
mendengar jawaban dari kedua istrinya, Brawijaya V langsung menarik
tangan Dewi Lowati lalu bercebur ke dalam api yang membara. Pada saat
itulah, keduanya tewas dan hangus terbakar. Prabu Brawijaya V memilih
Dewi Lowati bercebur ke dalam api karena cinta istri keduanya itu lebih
kecil dibandingkan dengan istri pertamanya. Dari peristiwa membakar diri
inilah kawasan pantai ini diberi nama Ngobaran. Ngobaran berasal dari
kata kobong atau kobaran, yang berarti terbakar atau membakar diri.
Kebenaran
cerita tentang Prabu Brawijaya V membakar diri ini masih diragukan oleh
sebagian pihak. Menurut keterangan dari sebagian masyarakat setempat
yang diperoleh dari orang-orang tua mereka, Prabu Brawijaya V sebenarnya
tidak meninggal di kawasan Pantai Ngobaran. Pada saat peristiwa
tersebut terjadi, ada seorang warga yang menyaksikan bahwa yang bercebur
ke dalam api bukan Brawijaya V dan istrinya, tetapi anjing
peliharaannya. Pendapat ini dibuktikan dengan ditemukannya petilasan
(jejak) berupa tulang-tulang sisa kobaran api yang ternyata bukan tulang
manusia, melainkan belang yoyang (tulang-tulang anjing).
Cerita
versi lain mengatakan bahwa Brawijaya V melakukan moksa (hilang) di
puncak Gunung Lawu. Menurut para sejarawan, versi ini sesuai dengan
fakta sejarah. Kenyataan memang menunjukkan bahwa Brawijaya V enggan
masuk Islam dan tidak mau berperang melawan putranya sendiri sehingga ia
meninggalkan istana menuju Blambangan dan kemudian mengasingkan diri ke
puncak Gunung Lawu bersama dua orang abdinya Dipa Manggala dan Wangsa
Manggala. Di puncak Gunung Lawu itulah Brawijaya moksa dan musnah
bersama kedua abdinya. Dengan musnahnya Brawijaya V, maka sirnalah
Kerajaan Majapahit. Runtuhnya Majapahit ini dikenal dengan istilah
“candrasangkala” atau Sirna Ilang Kertaning Bumi, yang berarti Sirna =
0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1. Kalimat yang mengandung makna angka
(bilangan) ini jika dibaca terbalik menyatakan tahun keruntuhan Kerajaan
Majapahit, yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 M.
Terlepas
dari perbedaan versi cerita di atas, hingga kini sebagian masyarakat
setempat tetap meyakini bahwa Brawijaya V pernah meninggalkan jejak di
Pantai Ngobaran sehingga kawasan ini menjadi salah satu obyek wisata
petilasan atau wisata pantai ritual yang ada di Gunungkidul. Penganut
Kejawan yang merupakan aliran kepercayaan peninggalan Prabu Brawijaya V
sering melakukan ritual di kawasan ini. Selain itu, penganut agama Hindu
juga sering melakukan upacara Galungan setiap bulan purnama dan Upacara
Melastri dalam rangkaian upacara Hari Raya Nyepi. Begitu pula penganut
kepercayaan Kejawen, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon mengadakan
ritual di kawasan ini.
B. Keistimewaan
Saat
memasuki kawasan Pantai Ngobaran, Anda akan disambut oleh suasana
mistis yang berpadu dengan suara ombak yang terhempas di tebing-tebing
batu karang. Pesona budaya yang pertama kali Anda temui adalah sebuah
prasasti yang terletak di antara arca dan stupa. Konon, prasasti itu
dibuat oleh masyarakat setempat untuk mengenang peristiwa menghilangnya
Prabu Brawijaya V di kawasan itu. Pada prasasti tersebut tertulis sebuah
Ikrar Kesatria yang berisi tiga butir, yaitu: AKU BERSUMPAH SETYA DAN
PATUH: 1). Menghormati, menjunjung tinggi dan menghormati para leluhur
cikal bakal bangsaku sendiri; 2). Menghormati dan menjunjung tinggi
ajaran Trimurti ajaran kepercayaan lelulur cikal bakal bangsaku sendiri;
3). Menghormati, menjujung tinggi dan menjaga bumi pertiwi, tanah
tumpah darah para leluhur cikal bakal bangsaku sendiri.
Berjalan
ke arah selatan prasasti tersebut, Anda akan menemui sebuah bangunan
pura yang terletak di ujung bukit batu karang. Di samping pura itu, Anda
dapat menyaksikan pemandangan laut lepas yang menakjubkan. Tidak jauh
dari pura itu, Anda juga dapat menemui sebuah rumah joglo dan sebuah
mushola berukuran kurang lebih 3 x 4 meter yang berlantai pasir.
Bangunan mushola ini sangat unik karena arah kiblatnya menghadap ke
selatan. Bagi pengunjung yang ingin melaksanakan shalat tidak perlu
bingung dengan arah kiblat karena penduduk setempat telah memberi tanda
pada dinding mushola tentang arah kiblat yang sebenarnya. Usai
melaksanakan shalat, pengunjung pun dapat menyaksikan keindahan Pantai
Ngobaran dari tempat imam memimpin shalat karena pada bagian tersebut
terbuka lebar.
Setelah
puas menikmati suasana mistis, Anda bisa berjalan ke arah barat
mengikuti jalan menurun menuju ke pantai. Di sana Anda akan menyaksikan
pesona alam Pantai Ngobaran yang dapat membius pandangan Anda. Pantai
ini dihiasi oleh hamparan pasir putih dan karang-karang berselimut alga.
Jika dilihat secara sekilas, pantai ini bagaikan hamparan permadani
hijau. Alga atau dalam bahasa Jawa disebut karangan itu menjadi salah
satu sumber penghasilan masyarakat setempat.
Jika
berkunjung ke pantai ini pada saat air laut surut, yaitu sekitar pukul
06.00 – 11.00 pagi, Anda akan menjumpai masyarakat pantai tengah mencari
karangan untuk dijual kepada tengkulak yang kebanyakan berasal dari
Surabaya, Jawa Timur. Jika ingin membawa pulang rumput laut untuk diolah
di rumah, pengunjung dapat memperolehnya dengan harga yang relatif
murah. Di kawasan ini tersedia beragam jenis karangan seperti karangan
simbar untuk bahan pembuatan kerupuk dengan harga Rp 3000,00-Rp
5.000,00/kg, karangan lumut dengan harga Rp 1.500,00-Rp 2.000,00/kg, dan
karangan ager untuk bahan agar-agar dengan harga Rp 1.200,00-Rp
1.500,00/kg.
Jika
Anda berkunjung pada sore hari, Anda bisa menyaksikan aktivitas para
nelayan di sekitar pantai yang sedang mencari beragam jenis biota laut
seperti landak laut, bintang laut, lobster, dan kerang-kerangan. Biota
laut tersebut banyak hidup di kolam-kolam mini yang berada di sela-sela
batu karang.
Setelah
menikmati sejuta pesona budaya dan alam kawasan pantai ini, kunjungan
Anda serasa tidak lengkap jika tidak menikmati wisata kulinernya. Salah
satu menu khas yang tersedia di warung-warung makan di sepanjang jalan
masuk ke kawasan pantai ini adalah Landak Goreng. Menurut penduduk
setempat, daging landak cukup kenyal dan rasanya lezat. Cara
menyantapnya pun cukup unik, yaitu duri landak laut terlebih dahulu
dikepras (dibabat) hingga rata dan kemudian dipecah dengan menggunakan
sabit hingga dagingnya terlihat. Setelah itu, daging landak dicongkel.
Sajian wisata kuliner khas ini menjadi penutup dari segala sensasi yang
ditawarkan oleh Pantai Ngobaran.
C. Lokasi
Pantai Ngobaran berlokasi di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia.
D. Akses
Akses
menuju ke pantai ini sama dengan akses menuju ke Pantai Ngrenehan.
Pengunjung dapat melewati dua jalur utama yang biasa digunakan oleh
penduduk setempat maupun para wisatawan. Jalur pertama adalah Yogyakarta
- Lapangan Udara Gading - Pertigaan Gading (ambil arah ke kanan) –
Playen – Paliyan – Trowono – Saptosari - Pantai Ngobaran. Jalur kedua
adalah Yogyakarta – Kota Wonosari – Paliyan – Trowono – Pantai Ngobaran.
Jika
Anda berada di Pantai Parangtritis, maka akan lebih dekat untuk sampai
Pantai Ngrobaran. Anda hanya tinggal menaiki jalan menanjak di sisi
sebelah timur Pantai Parangtritis menuju ke arah Panggang. Dari Panggang
Anda mengambil jalur yang menuju Saptosari dan Pantai Ngobaran.
E. Tiket
Biaya
tiket masuk ke kawasan Pantai Ngobaran sebesar Rp 3.000,00. Salah satu
keuntungan mengunjungi pantai ini adalah, dengan harga tiket tersebut,
pengunjung juga dapat menikmati pesona kawasan Pantai Ngrenehan yang
sudah menjadi satu paket dengan Pantai Ngobaran.
F. Akomodasi dan Fasilitas lainnya
Akomodasi
dan fasilitas yang ada di Pantai Ngobaran belum begitu lengkap, karena
kawasan ini belum terjangkau oleh aliran listrik. Fasilitas seperti
losmen dan penginapan belum tersedia sehingga hanya memungkinkan para
wisatawan berkunjung ke pantai ini pada siang hari. Namun yang sudah
tersedia di antaranya kamar mandi, warung makan, tempat ibadah, dan
tempat parkir.
Teks: lara_ati
sumber: Jogjatrip.com